Jumat, 02 Mei 2008

ISTANA RATU BOKO

Keraton Ratu Boko adalah salah satu obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi, terletak di kawasan Prambanan. Lebih kurang 2 km ke arah selatan dari Candi Prambanan atau 18 km ke arah timur dari kota Yogyakarta. Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Ratu Boko terletak di atas bukit dengan ketinggian kira-kira 195,97 m di atas permukaan laut. Ratu Boko merupakan sebuah dsitus kombinasid antara Budha dan Hindu, yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk yang biasanya ada pada candi Budha seperti: stupa dan lempengan emas atau perak yang bertuliskan mantra berbunyi : Ye- Te Swaha. Kemudian adanya 3 candi kecil sebagai element dari agama Hindu dimana terdapat Yoni, patung Dewi Durga dan Ganesha. Prasasti yang dikeluarkan pada jaman kekuasaan Rakai Panangkaran menyebutkan bahwa area situs Ratu Boko dikenal sebagai Abhayagiri Wihara. Abhaya berarti tidaka ada bahaya atau aman. Giri artinya bukit atau gunung dan Wihara mempunyai arti sebagai biara. Sehingga Abhayagiri Wihara dapat diartikan sebagai biara pendeta agama Budha yang tentram yang terletak di atas bukit. Pada periode selanjutnya, Abhayagiri Wihara berubah namanya menjadi Kraton Walaing yang diproklamirkan oleh Raja Vasal yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Nama Kraton Boko berasal dari kata Kraton dan Ratu Boko. Kraton berasal dari kata Ka-da-tu-an yang berarti tempat raja. Ratu Boko berasal dari Ratu yang berarti Raja dan Boko adalah nama seekor burung. Pengertian ini menimbulkan pertanyaan apakah Raja Heron adalah seorang penguasa atau seekor burung dalam arti yang sebenarnya. Oleh sebab itu, banyak orang berkata bahwa Ratu Boko menyimpan misteri hingga saat ini.
Istana Ratu Boko, Kemegahan di Bukit Penuh Kedamaian
Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan 'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama. Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran. Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya. Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha. Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu. Sedikit yang tahu bahwa istana ini adalah saksi bisu awal kejayaan di tanah Sumatera. Balaputradewa sempat melarikan diri ke istana ini sebelum ke Sumatera ketika diserang oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa memberontak karena merasa sebagai orang nomor dua di pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno akibat pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudhawardani (saudara Balaputradewa). Setelah ia kalah dan melarikan diri ke Sumatera, barulah ia menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya. Sebagai sebuah bangunan peninggalan, Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan lain. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai namanya istana ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat tinggal. Itu ditunjukkan dari adanya bangunan berupa tiang dan atap yang terbuat dari bahan kayu, meski kini yang tertinggal hanya batur-batur dari batu saja.

Tidak ada komentar: